Minggu, 17 Januari 2010

[ penulis: M. Adli Abdullah topik: Pemerintahan ]

Cheng Ho adalah seorang laksamana dari kerajaan Cina pada masa dinasti Ming. Dia menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle (1403-1424) dan Kaisar Hongxi (1426-1435) Cheng Ho yang nama aslinya Ma He juga disebut Ma Sanbao, seorang muslim yang berasal dari provinsi Yunnan. Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan ditawan, tetapi karena kecakapannya dalam teknik peperangan Cheng Ho diangkat menjadi laksamana negeri Cina. Ia menjadi pimpinan angkatan laut negara yang paling kuat di dunia ketika itu.

Selama menjabat laksama, Cheng Ho telah melakukan tujuh kali ekspedisi ke samudera Barat sampai ke Afrika (1405-1433). Dalam catatannya, Cheng Ho pernah singgah di Pasai dan Pulau Weh (Sabang). Di Pasai, ia menyerahkan Lonceng Cakradonya kepada Sultan sebagai tanda persahabatan antara negara Cina dengan kerajaan Pasai. Sekarang lonceng tersebut berada di depan museum negeri Aceh di Banda Aceh.

Setelah Cheng Ho meninggalkan Pasai dalam perjalanannya ke India dan Afrika, dia beserta rombongan singgah di pulau Weh Sabang, menurut Cheng Ho pulau Weh tunduk pada kerajaan Lamuri (Aceh besar). Di Sabang dia perlu air untuk perbekalan pasukannya karena akan mengarungi samudra India. Mungkin karena Cheng Ho seorang muslim dia bertindak sopan terhadap warga Sabang yang saat itu berjumlah 30 orang, dan meminta bertemu dengan penguasa Sabang untuk diizinkan mengambil air tawar yang berada di Danau Aneuk Laot Sabang. Tetapi alangkah terkejutnya Cheng Ho, dimana ke- 30 orang warga Sabang mengaku dirinya raja, Cheng Ho bingung dan langsung menyingkirkan mareka ini dan mengambil air Aneuk Laot tanpa meminta izin lagi.

Kalau kita amat-amati dengan kenyataan sekarang, tampaknya fenomena yang dialami dan dicatat Cheng Ho, belum pupus dalam masyarakat Aceh. Misal, ketika peluang berdirinya partai local (parlok) pasca MoU Helsinki 15 Agustus 2005 yang memungkin dibentuk setelah ada aturan dalam pasal 75 sampai pasal 78 Undang undang Pemerintahan Aceh no 11 tahun 2006, karakter yang ditunjukkan 30 warga Sabang itu sudah terlihat. Orang secara ramai ramai merasakan dirinya tokoh, apakah yang dulunya pernah malang melintang di Senayan Jakarta, maupun orang baru yang ingin mengiklankan dirinya bahwa dia juga berhak mendirikan partai local.
Di Aceh sekarang, sedikit sekali orang yang mengkonsentrasikan dirinya untuk pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat Aceh. Apalagi untuk pemberdayaan masyarakat miskin. Kalau pun ada, hanya pada dataran retorika dan diskusi ansic. Aksi lapangan nyaris tidak ada, kecuali kalau itu menguntung pribadinya alias proyek. Dan itulah fenomena warga Aceh yang pernah dicatat Cheng Ho, masyarakat yang berwatak galak keu raja, dan merasa orang hebat dan birahi menjadi orang penting.

Menyimak pengalaman Cheng Ho sepertinya menjawab rasa kecurigaan saya pada orang Aceh yang selalu ingin menjadi penguasa. Fakta, pascadamai Helsinki 15 Agustus 2005, ketika Otonomi Daerah dan self government dikampanyekan, tidak sedikit mereka yang seolah-olah mendapat mandat dari rakyat untuk menjadi pemimpin. Meskipun sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat bukan leader tetapi leadership––we do not need leader, but we do need leadership yang mampu memahami kepentingan rakyat. Cheng Ho hanya transit Sabang dan tidak menetap di pulau ini. Namun potret yang dia rekam memberi indikasi bahwa di Sabang saat itu tidak ada kepemimpinan. Semua orang berlomba mengatakan dirinya pemimpin. Karena itu, di Negara-negara maju, pola leadership-lah yang dikedepankan.

Dalam konteks pembangunan Aceh saat ini, saya masih menyimpan harapan. Bahwa kepemimpinan baru yang ada sekarang, apakah itu level provinsi, atau kabupaten/kota, bahkan tingkat gampong, mampu membawa masyarakat Aceh keluar dari paradigma lama atau rezim lama Aceh. Jika tidak, maka sama saja kepemimpinan Aceh hanya tugas personal atau rezim. Sedangkan pola dan karakternya tetap saja. Yang berbeda hanya dinasti lama diganti dynasty baru, rezim lama berganti rezim baru. Tentu yang menjadi sasaran dan mengalami pengorbanan tetap saja rakyat Aceh.

Argumen ini bisa saja keliru, namun kondisi obyektif menunjukkan gejala seperti dicatat Cheng Ho. Lihat saja di setiap kawasan sekarang ini telah ada raja raja kecil, sehingga setiap usaha pembangunan dan investasi yang dilakukan walaupun telah mendapat persetujuan dari pemimpin formal tetapi jangan harap urusan akan mulus jika belum benegosiasi dengan raja raja kecil ini. Ini yang mengingatkan saya pada salah satu tulisan Mahathir Muhamad, mantan Perdana Menteri Malaysia, dalam bukunya The Malay Dilemma.

Mahathir dalam bukunya tersebut meminta bangsa melayu di Malaysia untuk belajar pada kehancuran Aceh dalam menatap Malaysia kedepan. Dikatakan, salah satu sebab hancurnya Aceh dulu, adalah berkurangnya kekuasaan dan wibawa sultan Aceh dihadapan raja raja kecil yang berjumlah lebih 300 orang di seluruh Aceh. Bahkan satu sama lain saling bermusuhan dalam merebut pengaruh dan uang.

Jadi perangai orang Aceh yang suka menjadi pemimpin sesuatu yang baik jika itu diiringi dengan kepemimpinan yang baik pula. Namun, kepemimpinan yang baik kadangkala muncul bukan dari kelompok yang suka menjadi pemimpin. Dengan begitu, kita bisa berharap kalau pembangunan Aceh ini lebih banyak memunculkan sikap kepemimpinan yang baik untuk rakyat Aceh. Sikap pemimpin yang baik adalah punya visi, misi dan wibawa dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Namun, ketika sekarang diberikan kesempatan menjadi pemimpin di Aceh, kebanyakan dari mereka gamang atau tidak tahu bagaimana menyelesaikan kemelut yang dihadapi oleh rakyat Aceh.

Kondisi Aceh dengan inflasi yang mencapai 11 persen dan terbesar di Indonesia telah menyebabkan rakyat kecil menjerit karena tidak sanggup membeli barang-barang keperluan mereka sehari-hari. Pemimpinnya ternyata tidak mampu memberikan rasa kesejahteraan bagi mereka dan miskin kreatifitas. Dalam konteks yang lebih jauh lagi, perangai orang Aceh selalu ingin menjadi penguasa, agaknya selalu dikaitkan dengan kue kekuasaan dan pendapatan (uang). Beragam sudah masukan dan kritikan dalam membangun Aceh, namun hasil yang telah dicapai ternyata tidak menggembirakan. Bahkan, Aceh sepertinya sedang direkayasa untuk mengalami konflik antar-masyarakat (horizontal). Tentu saja, konflik yang dimaksud karena jurang antara mereka yang mendapat keuntungan dalam ronde sejarah Aceh kali ini dengan mareka yang berairmata.

Pengalaman Cheng Ho adalah bukti bagaimana orang Aceh tidak mau menjadi orang biasa. Semua orang Aceh ingin menjadi seorang luar-biasa. Maka berlomba-lomba menjadi penguasa walaupun setelah berkuasa mereka gamang dalam suasana. Di tengah tengah berbagai masalah yang muncul–– mulai dari harga semen naik tuntutan warga Lhoknga Leupung agar 70 persen karyawan pabrik semen kepunyaan Laparge group di Lhoknga agar diisi oleh mareka, sampai kebutuhan sehari hari yang meroket tajam sampai menyebabkan inflasi pada titik yang sangat membahayakan perekonomian Aceh ke depan. Kalau pemimpin yang ada sekarang tidak mempunyai visi, misi dan wibawa dalam menjalankan roda kepemimpinan, maka beragaman problema yang terjadi itu akan menjadi bumerang bagi pemerintahannya. Tidak hanya merugikan mareka sendiri tetapi juga Aceh di masa depan.

Inilah yang patut diingat dan diambil hikmah dari kemelut krisis kepemimpinan dan kewibawaan yang terjadi di Aceh saat ini. Gejala inflasi dan gamangnya kepemimpinan Aceh sekarang menyiratkan awal-awal kehancuran Aceh di masa yang akan datang, minimal pada tahun 2009. Sebenarnya jika pemimpin Aceh baik formal maupun informal, baik raja raja besar maupun raja raja kecil, dan bila ingin diukir jasa dalam sejarah Aceh ke depan, sejatinya kehadiran para raja itu saat ini harus mampu memberdayakan dan membawa rakyat Aceh keluar dari himpinan ekonomi dan social. Karena hal ini menjadi harapan setiap jiwa rakyat terhadap pemimpinnnya.

0 komentar:

Posting Komentar

jika anda tidak senang maka jawablah tidak!!