Senin, 28 Februari 2011

Posted by abdussakir on October 4, 2010

Abstrak
David Tall menyatakan bahwa terdapat tiga dunia berpikir matematika, yaitu dunia perwujudan, simbolis, dan formal. Pembelajaran matematika di sekolah menengah lebih menekankan pada dunia wujud dan simbol, sedangkan di perguruan tinggi lebih menekankan pada dunia berpikir formal. Perubahan pola pembelajaran ini mengakibatkan terjadinya transisi berpikir pada mahasiswa matematika di tahun pertama perguruan tinggi. Untuk sampai pada dunia berpikir formal, terdapat tiga jalur yang dapat ditempuh mahasiswa, yaitu jalur alami, formal, dan prosedural. Tulisan ini mencoba membuka ruang untuk beberapa pertanyaan, misalnya mengapa mahasiswa memilih jalur tertentu, apakah mahasiswa selalu menempuh jalur yang sama untuk materi matematika yang berbeda, dan adakah kemungkinan jalur lain yang dapat ditempuh.

Kata kunci: dunia berpikir, transisi berpikir, jalur.

Pendahuluan
Sebagian besar mahasiswa matematika di tahun pertama mengalami perubahan dalam proses berpikir sebagai akibat transisi dari matematika sekolah ke pembuktian formal dalam matematika murni di universitas. Matematika sekolah dapat dipandang sebagai kombinasi dari representasi visual, termasuk geometri dan grafik, bersama-sama dengan perhitungan dan manipulasi simbolis. Matematika murni di universitas bergeser menuju kerangka formal sistem aksiomatik dan bukti matematik.

Transisi dalam berpikir dapat dirumuskan dalam kerangka ‘tiga dunia matematika’, yaitu
(1) dunia ‘perwujudan-konseptual’, berdasarkan persepsi dan refleksi pada sifat-sifat objek, pada awalnya terlihat dan dirasakan dalam dunia nyata tapi kemudian dibayangkan dalam pikiran,
(2) dunia ‘simbolis-proceptual’, yang tumbuh keluar dari dunia perwujudan melalui tindakan (seperti menghitung) dan disimbolkan sebagai konsep masuk akal (seperti angka) yang berfungsi sebagai proses untuk berbuat dan konsep untuk berpikir (prosep), dan
(3) dunia ‘formal-aksiomatik’, dari kerangka teoritik definisi konsep dan bukti matematika, yang membalik urutan konstruksi makna dari definisi yang didasarkan pada objek dikenal menuju konsep formal berdasarkan pada set-teoritik definisi (Tall, 2004:285, 2008a:5).

Setiap ‘dunia’ mempunyai urutan pengembangan sendiri dan bentuk-bentuk bukti sendiri yang dapat dipadukan untuk menghasilkan berbagai macam cara berpikir secara matematis (Tall, 2008a:5, Tall dan Mejia-Ramos, 2006:5). Dalam dunia perwujudan, mahasiswa mulai dengan percobaan fisik untuk menemukan kecocokan antar benda, deskripsi verbal menjadi definisi dan digunakan untuk mendukung konstruksi visual terhadap bukti verbal dan membangun teori dari definisi dan bukti. Dalam dunia simbolik, argumen dimulai dari perhitungan numerik yang spesifik dan berkembang menjadi bukti identitas aljabar seperti
(a – b)(a + b) = a2 – b2
dengan manipulasi simbolik. Dalam dunia formal, bentuk bukti yang diinginkan adalah deduksi formal, seperti teorema nilai tengah dibuktikan dengan aksioma kelengkapan (Tall dan Mejia-Ramos, 2006:5).

Beberapa penelitian mengenai transisi menuju berpikir formal sudah dilakukan. Hasil penelitian Hong dkk (2009) menunjukkan bahwa guru matematika lebih cenderung pada dunia simbol sedangkan dosen lebih cenderung pada dunia formal. Guru lebih cenderung pada gaya prosedural sedangkan dosen lebih cenderung pada gaya formal.

Penelitian oleh Stewart & Ramos (2007, 2008) pada matakuliah aljabar linear menemukan berbagai cara mahasiswa menjelaskan konsep bebas linear, nilai eigen, dan vektor eigen. Mahasiswa menggunakan representasi perwujudan dan simbolisme untuk menjelaskan konsep tersebut. Namun, demikian dalam penelitian ini tidak dijelaskan alasan mengapa mahasiswa menggunakan representasi perwujudan dan simbolisme. Lebih lanjut dalam disertasinya, Sepideh Stewart (2008:247) menyarankan agar dilakukan penelitian mendalam mengenai bagaimana mahasiswa dapat mencapai berpikir formal.
Penelitian Pinto (1998) menemukan dua rute yang ditempuh mahasiswa dalam matakuliah analisis real, yaitu rute alami dan rute formal, untuk menuju berpikir formal. Rute alami dibangun berdasarkan dunia perwujudan, simbolis atau gabungan keduanya dan membentuk jaringan dengan bayangan mental selama proses menerjemahkan bayangan mental menjadi bukti tertulis. Rute formal menfokuskan pada teorema-teorema dan langkah logika yang diperlukan untuk mencapai kesimpulan yang diinginkan. Berdasarkan penelitian Pinto, Weber (2004) menambahkan satu rute, yaitu rute procedural, ketika melaksanakan penelitian pada matakuliah analisis real. Rute prosedural menfokuskan langkah pembuktian sebagai hasil menghapal.

Davil Tall (2008b:14-15) menyatakan
“These transitions occur throughout the curriculum. Those that involve unhelpful met-befores include:
(a) From counting to the whole number concept
(b) From whole numbers to fractions
(c) From whole numbers to signed numbers
(d) From arithmetic to algebra
(e) From powers to fractional and negative powers
(f) From finite arithmetic to the limit concept
(g) From description to deductive definition
(h) At many other transitions, such as teaching the function concept in stages (linear, quadratic, trigonometric, logarithm, exponential, etc) builds limitations at each stage that stunt long-term growth.
Research in many of these areas still needs to be done, so I invite you to do research into the effects of met-befores in transitions in the mathematical curriculum.”

Pernyataan David Tall ini menjelaskan bahwa penelitian tentang dampak met-before (pengalaman belajar sebelumnya) dalam transisi berpikir juga sangat perlu dilakukan.

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa pertanyaan tentang mengapa memilih rute tertentu dan pengaruh met-before perlu diungkapkan untuk diteliti secara serius. Pertanyaan lain yang muncul berikutnya adalah apakah untuk rute yang ditempuh seorang mahasiswa selalu sama untuk materi matematika yang berbeda. Selain itu, kemungkinan adanya rute lain selain rute alami, formal, dan procedural masih perlu diungkap.

Set-Before dan Met-Before
David Tall (2008a) menggunakan istilah ‘set-before’ untuk merujuk kepada struktur mental manusia yang dibawa sejak lahir, yang mungkin memerlukan sedikit waktu untuk matang saat otak manusia membuat koneksi pada awal kehidupan. Sebagai contoh, struktur visual otak memiliki sistem built-in untuk mengidentifikasi warna dan corak, untuk melihat perubahan dalam corak, mengidentifikasi sisi, mengkoordinasikan sisi untuk melihat benda-benda dan melacak gerakan mereka. Jadi anak lahir dengan sistem biologis untuk mengenali jumlah benda-benda (satu, dua, atau mungkin tiga) yang memberikan ‘set-before’ untuk konsep ‘duaan’ sebelum anak belajar menghitung.

Lebih lanjut, Tall (2008a) menyatakan ada tiga set-before mendasar yang menyebabkan manusia berpikir secara matematis dengan cara tertentu. Ketiganya adalah:
1. pengenalan pola, persamaan dan perbedaan;
2. pengulangan rangkaian tindakan sampai menjadi otomatis.
3. bahasa untuk menggambarkan dan memperbaiki cara kita berpikir tentang sesuatu;
Meskipun pengenalan dan pengulangan untuk berlatih kebiasaan-kebiasaan juga ditemukan pada spesies lain, kekuatan bahasa, dan penggunaan simbol-simbol yang terkait, yang memungkinkan manusia untuk fokus pada ide-ide penting, untuk menamai mereka dan berbicara tentang mereka untuk memperbaiki makna. Pengenalan pola adalah fasilitas penting untuk matematika, termasuk pola dalam bentuk dan bilangan.

Pengulangan yang menjadi otomatis sangat penting untuk belajar prosedur. Namun, ada tingkat yang lebih tinggi yang tidak hanya melibatkan kemampuan untuk melakukan prosedur, tetapi juga untuk berpikir tentang hal ini sebagai suatu entitas. Dalam hal ini, simbol-simbol beroperasi secara dual, yakni sebagai proses dan konsep (prosep) yang memungkinkan manusia untuk berpikir fleksibel (Gray & Tall, 1994).

Perkembangan pribadi didasarkan pada pengalaman yang telah ditemui sebelumnya. Pengalaman sebelumnya membentuk koneksi di otak yang mempengaruhi bagaimana memahami situasi baru. David Tall (2008a) mendefinisikan met-before sebagai ‘fasilitas mental sekarang berdasarkan pengalaman spesifik individu sebelumnya.’

Suatu met-before ini kadang-kadang konsisten dengan situasi baru dan kadang-kadang tidak konsisten. Misalnya, met-before ’2 + 2 menghasilkan 4 ‘ adalah pengalaman pertama dalam aritmetika bilangan cacah dan terus konsisten dengan aritmetika pecahan, bilangan bulat positif dan negatif, rasional, real dan bilangan kompleks. Tapi met-before ‘menghilangkan menghasilkan lebih kecil‘ tetap konsisten dengan pecahan (positif) pecahan, tetapi tidak konsisten dengan negatif di mana menghilangkan -2 menghasilkan lebih banyak. Met-before yang sama berlaku juga pada himpunan berhingga, yakni menghilangkan suatu subset meninggalkan unsur yang lebih sedikit, tetapi tidak konsisten dalam konteks himpunan takberhingga, di mana menghapus bilangan genap dari himpunan bilangan cacah masih meninggalkan bilangan ganjil dengan kardinalitas yang sama. Dengan cara ini, met-before dapat beroperasi secara terselubung, mempengaruhi cara individu menafsirkan matematika baru, kadang-kadang mendukung, tapi kadang-kadang menyebabkan kebingungan internal yang menghambat belajar.

Kebanyakan kurikulum hanya berfokus pada perluasan pengalaman berdasarkan pada met-before positif, dan gagal untuk menjelaskan met-before yang menyebabkan banyak peserta didik mengalami kesulitan mendalam. Misalnya, matematisi akan memiliki konsep limit sebagai met-before dalam pikiran mereka, sebagai dasar logika untuk kalkulus dan analisis; tetapi ini bukanlah met-before bagi siswa yang baru memulai kalkulus dan menyebabkan kesulitan mendalam. Otak mengubah kemampuannya untuk berpikir sepanjang waktu, mengorganisasikan kembali informasi untuk menciptakan struktur-struktur baru yang lebih rumit dan lebih baik dalam menghadapi situasi yang baru. Otak bukan sekadar tempat penyimpanan pengalaman sebelumnya dan menambah informasi baru untuk informasi lama. Otak merumuskan ulang informasi lama dengan cara baru, mengubah cara berpikir saat manusia tumbuh lebih dewasa. Ahli mungkin sudah lupa bagaimana mereka berpikir ketika mereka masih muda dan mungkin perlu merenungkan bagaimana met-before siswa yang berbeda mempengaruhi cara mereka belajar.

Tiga Dunia Matematika
Perkembangan individu dibangun atas tiga set-before mendasar yaitu pengakuan, pengulangan dan bahasa untuk mengkonstruksi tiga urutan perkembangan yang saling terkait dan saling terpadu untuk membangun pemikiran matematis secara penuh (Tall, 2004, 2006). Ini bukan untuk mengatakan bahwa ada korespondensi satu-satu antara set-before dan urutan perkembangan. Pengakuan dan kategorisasi gambar serta bentuk mendukung pemikiran dalam geometri dan grafik, sedangkan pengulangan serangkaian tindakan yang disimbolkan sebagai konsep yang dapat dipikirkan mengarah pada aritmetika dan aljabar. Masing-masing proses konstruksi ini berkembang lebih lanjut melalui penggunaan bahasa untuk menggambarkan, mendefinisikan dan menyimpulkan hubungan, sampai pada tingkat tertinggi, bahasa digunakan sebagai dasar untuk matematika formal.

David Tall (2008a) selanjutnya menggambarkan cara berpikir ini ke dalam ‘tiga dunia matematika’ yang berkembang dalam pengalaman duniawi dengan cara yang cukup berbeda. Tiga dunia matematika ini sebagai berikut.
1. Dunia perwujudan-konseptual, berdasarkan persepsi dan refleksi pada sifat-sifat objek, pada awalnya terlihat dan dirasakan dalam dunia nyata tapi kemudian dibayangkan dalam pikiran;
2. Dunia simbolis-proceptual yang tumbuh keluar dari dunia perwujudan melalui tindakan (seperti menghitung) dan disimbolkan sebagai konsep masuk akal (seperti angka) yang berfungsi sebagai proses untuk berbuat dan konsep untuk berpikir (prosep);
3. Dunia formal-aksiomatik (berdasarkan definisi formal dan bukti), yang membalik urutan konstruksi makna dari definisi yang didasarkan pada objek dikenal menuju konsep formal berdasarkan pada set-teoritik definisi.

‘Perwujudan konseptual’ tidak hanya mengacu pada klaim yang lebih luas dari Lakoff (1987) bahwa semua pemikiran adalah perwujudan, tapi lebih khusus untuk representasi perseptual sesuatu. Secara konseptual, kita dapat mewujudkan figur geometris, seperti segitiga yang terdiri dari tiga segmen garis lurus; kita membayangkan segitiga seperti itu dan menjadikan suatu segitiga khusus yang bertindak sebagai prototipe untuk mewakili seluruh kelas segitiga. Kita “melihat” gambaran suatu grafik tertentu yang mewakili suatu fungsi spesifik atau generik.

‘Proceptual simbolisme’ mengacu pada penggunaan simbol-simbol yang muncul dari skema aksi, seperti menghitung, yang menjadi konsep-konsep, seperti bilangan (Gray & Tall, 1994). Suatu simbol seperti 3 + 2 atau b2- 4ac mewakili proses yang harus dilakukan sekaligus konsep yang dihasilkan oleh proses tersebut.

‘Aksiomatik formalisme’ mengacu pada formalisme Hilbert yang membawa kita melampaui operasi formal Piaget. Perbedaan utama dari perwujudan dan simbolisme matematika dasar matematika adalah bahwa dalam matematika dasar, definisi muncul dari pengalaman dengan benda-benda yang sifatnya dijabarkan dan kemudian digunakan sebagai definisi. Dalam matematika formal, seperti ditulis dalam publikasi matematika, presentasi resmi mulai dari set-teori definisi dan menyimpulkan properti lainnya menggunakan bukti formal.
Ketiga dunia tersebut dapat saling berinterkasi dan bekerja secara bersama. Meletakkan dua nama secara bersama, seperti ‘perwujudan-konseptual aksiomatik-formalisme’ adalah jelas tidak tepat sehingga diperlukan kompreai. Untuk tujuan ini, mengacu pada tiga dunia matematika, David Tall (2008a) hanya menyebut sebagai ‘perwujudan’, ‘simbolik’ dan ‘formal’. Istilah ini tetap menggunakan makna untuk istilah yang telah ditetapkan. Dengan kompresi ini, maka memungkinkan untuk menggabungkan mereka dan memberikan nama seperti ‘perwujudan formalisme’ ketika berpikir formal didukung oleh perwujudan. Dalam kerangka kombinasi interaksi dunia matematika, maka dapat diperoleh Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Perkembangan Kognitif melalui Tiga Dunia Matematika (David Tall, 2008a)

Matematika sekolah berkembang dari perwujudan konsepsi tindakan fisik: bermain dengan bentuk, menempatkan mereka dalam koleksi, menunjuk dan menghitung, membagi, dan mengukur. Setelah operasi ini dilakukan dan menjadi rutinitas, mereka dapat disimbolkan sebagai bilangan dan digunakan secara dual sebagai operasi atau sebagai entitas mental. Saat fokus perhatian beralih dari perwujudan ke manipulasi simbol, berpikir matematika berubah dari perwujudan ke dunia simbolik (proseptual). Melalui matematika sekolah, perwujudan memberikan arti khusus dalam berbagai konteks, sementara simbolisme dalam aritmetika dan aljabar menawarkan dunia mental daya komputasi.

Kemudian transisi ke dunia aksiomatik formal didasarkan pada pengalaman perwujudan dan simbolisme ini untuk merumuskan definisi formal dan untuk membuktikan teorema dengan menggunakan bukti matematis. Bukti formal yang tertulis adalah tahap akhir berpikir matematika. Hal ini didasarkan pada pengalaman teorema apa yang layak untuk membuktikan dan bagaimana mungkin pembuktian dilakukan, sering kali berkembang secara implicit dalam perwujudan dan pengalaman simbolik.

Teori-teori formal yang didasarkan pada aksioma sering mengarah pada struktur teorema, yang mengungkapkan bahwa sistem aksiomatik (seperti ruang vektor) mempunyai perwujudan yang lebih rumit dan simbolisme yang terkait -misalnya ruang vector berdimensi hingga adalah system koordinat dimensi-n. Dengan cara ini, kerangka teoretis menjadi lingkaran penuh, berkembang dari perwujudan dan simbolisme ke formalisme, kembali lagi ke bentuk yang lebih canggih dari perwujudan dan simbolisme yang, pada gilirannya, memberikan cara-cara baru pada matematika yang lebih rumit.

Dualisme Simbol: Proses dan Konsep
Ausubel dkk (1968) membedakan antara belajar bermakna dan belajar hapalan. Belajar yang menghasilkan skema pengetahuan yang kaya akan saling keterkaitan antara entitas pengetahuan disebut belajar bermakna, dan belajar yang menghasilkan entitas pengetahuan yang terisolasi dari skema pengetahuan yang ada disebut belajar hapalan. Hiebert dan Lefevre (dalam Hiebert, 1986;6) membedakan antara pengetahuan procedural dan konseptual. Pengetahuan mengenai fakta dan prosedur oleh disebut pengetahuan procedural, sedangkan pengetahuan mengenai fakta dan konsep yang saling terkait satu sama lain disebut pengetahuan konseptual. Skemp (1987:166) membedakan antara pemahaman instrumental, pemahaman relasional, dan pemahaman formal/logis. Kemampuan untuk melakukan rumus-rumus atau prosedur-prosedur tanpa mengetahui mengapa rumus itu dapat berfungsi disebut pemahaman instrumental. Kemampuan untuk menghasilkan aturan atau prosedur khusus dari saling keterkaitan konsep matematika yang lebih umum disebut pemahaman relasional. Kemampuan untuk menghubungkan simbol-simbol dan notasi-notasi matematika (fakta) dengan konsep matematika dan kemampuan mengkombinasikan fakta dan konsep ke dalam jaringan penalaran logis disebut pemahaman formal atau pemahaman logis.

Aspek prosedural matematika terfokus pada manipulasi rutin objek yang diwakili baik oleh benda konkret, kata-kata lisan, simbol tertulis, atau gambaran mental. Relatif mudah untuk melihat apakah prosedur tersebut dilakukan secara memadai, dan kinerja dalam tugas-tugas serupa sering diambil sebagai ukuran pencapaian dalam keterampilan ini. Pengetahuan konseptual di sisi lain lebih sulit untuk dinilai. Ini adalah pengetahuan yang kaya dalam hubungan (Gray & Tall, 1994:2).

Pembedaan antara belajar procedural dan belajar konseptual ini sebenarnya tidak bersifat eksklusif. Prosedur-prosedur dapat memberikan kesempatan untuk bekerja dalam matematika dan saling keterkaitan konseptual dapat memberikan kesempatan untuk memikirkannya. Melalui belajar aritmetika, aljabar dan kalkulus, symbol dapat berperan penting untuk melakukan suatu prosedur (misalnya penjumlahan) sekaligus sebagai hasil dari prosedur itu (yakni jumlahnya). Jadi, symbol berfungsi sebagai proses sekaligus sebagai konsep. Berikut ini beberapa contoh yang lain.
Simbol Proses Konsep
3 + 4 Penjumlahan Jumlah
-3 Kurangi 3, 3 langkah ke kiri Negatif 3
3/4 Pembagian Pecahan
3 + 2x Evaluasi Expresi
v = s/t Rasio Kecepatan
sin A = sisi depan/sisi miring Rasio trigonometri Fungsi trigonometri
y = f(x) Pemasangan Fungsi
dy/dx Diferensiasi Turunan
 f(x) dx Integrasi Integral

Perkembangan umum dalam matematika dimulai dengan mendapatkan pengalaman dari suatu proses, pertama sebagai prosedur yang spesifik, mungkin kemudian dengan lebih banyak fleksibilitas dalam cara-cara alternatif yang lebih efektif atau dibatasi, dan akhirnya dipahami sebagai satu kesatuan. Simbol yang pertama kali membangkitkan suatu proses menjadi dilihat juga sebagai konsep yang dihasilkan. Penggunaan simbol sebagai poros antara proses dan konsep disebut procep. Ini memberikan kekuatan yang besar yang memungkinkan individu untuk melakukan matematika (sebagai proses) dan untuk berpikir tentang hal itu (sebagai suatu konsep) (Tall, 1996:2-3).

Jalur Transisi Berpikir Menuju Berpikir Formal
Ketika berhadapan dengan ide-ide matematika baru, individu bentindak dalam berbagai cara. Dalam aritmetika, siswa yang berhasil sudah memiliki struktur fleksibel yang saling mendukung penggunaan simbolisme baik sebagai proses untuk mendapatkan hasil dan konsep untuk dipikirkan. Siswa yang tidak berhasil lebih menfokuskan pada ketepatan melakukan algoritma dan jarang sukses dengan masalah rutin. Saat perkembangan mereka terus berlanjut dalam matematika, perbedaan mulai berbeda bahkan lebih mencolok. Dalam menghadapi ide-ide baru, beberapa siswa memiliki sedikit struktur kognitif untuk dikembangkan dan cenderung untuk mundur lebih jauh pada belajar hafalan. Beberapa siswa yang memiliki kekayaan pertumbuhan struktur kognitif mengembangkan pendekatan pribadi yang berbeda-beda.

Salah satu metode kategorisasi pendekatan yang berbeda adalah dengan mengatakan “Apakah siswa membangun struktur yang dimiliki untuk memahami matematika baru, atau apakah pelajar mencoba untuk memahami matematika sebagai matematika itu sendiri?” Dengan kata lain. apakah siswa mensintesis pengalaman mereka untuk membangun ide-ide matematika baru atau menganalisis ide-ide matematika baru untuk membangun sistem itu sendiri yang mungkin dapat diintegrasikan dengan pengetahuan sebelumnya. Duffin & Simpson (1993) menyebut yang pertama sebagai siswa “alami” dan yang terakhir sebagai siswa “asing”. David Tall (1997) menyebut yang pertama sebagai siswa “alami” dan yang kedua sebagai siswa “formal”. Saat aku berjuang dengan ide-ide ini sendiri, saya lebih suka “alami” dan “formal” nama.

Siswa alami mencoba untuk memahami ide baru menggunakan pengetahuan saat ini, sedangkan siswa formal memberikan kesempatan pada pengetahuan baru untuk mengembangkan arti tersendiri tanpa merasa perlu untuk menghubungkannya dengan pengetahuan lainnya (Tall, 1997:11-12).
Apa yang terjadi pada siswa alami dan formal ketika mereka menghadapi definisi dan deduksi pada matematika lanjut? Siswa alami harus menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dan berusaha menempatkan definisi sesuai fungsinya. Ini memerlukan sejumlah besar refleksi dan reorganisasi pengetahuan yang memuat banyak kelemahan. Sesungguhnya “pelajar alami” yang belum memahami peran definisi sebagai formalisasi konsep baru dan mendeduksi sifat-sifatnya, benar-benar “mengetahui” banyak sifat dan dibingungkan oleh seluruh masalah. Namun, yang lainnya bisa sukses dan ditandai dengan kemampuan memberikan arti definisi berdasarkan kekayaan pengalaman mereka.

Di sisi lain, siswa formal adalah mereka yang berusaha untuk menggunakan definisi verbal sesuai fungsinya dan menggunakannya untuk mengekstrak makna. Sekali lagi, ada yang berhasil dan beberapa gagal (Tall, 1997:11-12).
Dikaitkan dengan transisi berpikir dari dunia perwujudan dan simbolisme menuju dunia formalisme, Maria Pinto (1998) mengemukakan dua rute yang ditempuh mahasiswa dalam matakuliah analisis real, yaitu rute alami dan rute formal. Rute alami dibangun berdasarkan dunia perwujudan, simbolis atau gabungan keduanya dan membentuk jaringan dengan bayangan mental selama proses menerjemahkan bayangan mental menjadi bukti tertulis. Rute formal menfokuskan pada teorema-teorema dan langkah logika yang diperlukan untuk mencapai kesimpulan yang diinginkan. Penelitian Pinto ini dilakukan pada materi analisis real khususnya topik limit barisan.

Berangkat dari hasil penelitian Pinto, pertanyaan yang dapat diajukan untuk diteliti lebih lanjut adalah mengapa mahasiswa memilih jalur alami atau jalur formal. Pemilihan jalur oleh mahasiswa ini dapat ditinjau dari set-before dan met-before mahasiswa. Set-before mahasiswa dapat diperluas dengan mengkaji gaya belajar dikaitkan teori Howard Gadner tentang Multiple Intelegency. Pinto tidak memberikan penjelasan mengenai met-before mahasiswa terutama jika dikaitkan dengan metode pembelajaran yang dilakukan dosen untuk materi yang diteliti.

Melengkapi penelitian Pinto, penelitian Weber (2004) memberikan penjelasan yang lebih detil. Weber tidak hanya ingin menjelaskan berbagai rute yang ditempuh mahasiswa, tetapi juga melihat met-before mahasiswa berkaitan dengan gaya mengajar dosen pada matakuliah analisis real. Selian rute alami dan formal, Weber menambahkan satu rute baru, yaitu rute procedural. Rute prosedural menfokuskan langkah pembuktian sebagai hasil menghapal tanpa pembenaran secara formal. Data penelitian Weber juga menunjukkan bahwa siswa dapat menggunakan berbagai rute bergantung pada konteks materi yang mereka hadapi. Dari 6 mahasiswa yang diteliti, semua menggunakan rute alami untuk pertanyaan tentang topologi. Perkuliahan topologi ini dilakukan dengan gaya semantik. Meskipun demikian, untuk pertanyaan tentang fungsi dan limit, hanya satu siswa yang menjawab secara alami. Respon yang lain, 4 formal dan 1 prosedural (untuk soal fungsi) serta 2 formal dan 3 prosedural (untuk soal limit). Perkuliahan materi fungsi dilakukan dengan gaya logiko-struktural dan materi limit barisan dengan gaya procedural.

Penelitian Weber ini menjawab pengaruh met-before terhadap pemilihan rute. Nampak bahwa gaya mengajar dan materi yang berbeda menghasilkan rute yang berbeda. Pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah berbedanya rute ini karena gaya mengajarnya, materinya, atau kombinasi keduanya. Jika materi sama dan gaya mengajar berbeda, bagaimana rute yang ditempuh mahasiswa? serta jika materi berbeda dan gaya mengajar sama, bagaimana rute yang ditempuh mahasiswa? adalah pertanyaan yang perlu dijawab melalui penelitian mendalam.

David Tall, menggunakan istilah perwujudan untuk perwujudan-konseptual, simbolis untuk simbolis-proseptual, dan formal untuk formal-aksiomatik. Penggunaan istilah ini dilakukan untuk menyederhanakan istilah ketika terjadi penggabungan antara dua dunia, misalnya formal dan simbolis, sehingga dapat disebut simbolis formal bukan simbolis-proseptual formal-aksiomatik. Penyederhaan ini memberikan kemungkinan adanya penggabungan dua dunia atau lebih yang pada akhirnya dapat memberikan kemungkinan pada penggabungan dua rute atau lebih pada transisi berpikir mahasiswa. Observasi awal penulis menunjukkan bahwa ada mahasiswa yang menggunakan bentuk formal dan perwujudan ketika diminta menjawab pertanyaan materi fungsi. Hal ini melahirkan pertanyaan kalau hanya ada tiga rute (alami, formal, dan procedural) mengapa ada mahasiswa yang menggunakan cara formal dan alami sekaligus. Dengan demikian, kemungkinan adanya rute lain perlu diteliti lebih lanjut.

Penutup
Transisi berpikir formal dari matematika sekolah ke matematika formal di perguruan tinggi masih menyisakan banyak pertanyaan jika dikaitkan dengan rute yang dilalui mahasiswa dari dunia perwujudan dan simbolis menuju dunia formal. Penelitian lebih lanjut masih dapat dilakukan untuk menjawab pengaruh set-before atau met-before untuk pemilihan rute serta mencari kemungkinan adanya rute lain selain rute alami, formal, dan procedural.

Referensi
Duffin, J. M. & Simpson. A. P. 1993. Natural, Conflicting, and Alien. Journal of Mathematical Behavior, 12 4: 313–328.
Gray, E. & Tall, D. O. 1994. Duality, Ambiguity and Flexibility: A Proceptual View of Simple Arithmetic. The Journal for Research in Mathematics Education, 26 (2):115–141.
Hiebert, James. 1986. Conceptual and Procedural Knowledge: The Case of Mathematics. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
Hong, YY., Kerr, S.. Klymchuk, S.. McHardy, J.. Murphy, P.. Spencer, S.. Thomas, M.. & Watson, P.. 2009. Modelling the Transition from Secondary to Tertiary Mathematics Education: Teacher and Lecturer Perspectives. Laporan Penelitian Kelompok di Auckland University of Technology, New Zealand.
Lakoff, G. 1987. Women, Fire and Dangerous Things. Chicago: Chicago University Press.
Pinto, M. M. F. 1998. Students’ Understanding of Real Analysis. Unpublished PhD Thesis, University of Warwick. UK.
Skemp, Richard R.. 1987. The Psychology of Learning Mathematics. New Jersey: Lawrence Earlbaum Associates.
Stewart, S., & Thomas, M. O. J. 2007. Eigenvalues and Eigenvectors:Formal, Symbolic and Embodied Thinking. Dipresentasikan pada the 10th Conference of the Special Interest Group of the Mathematical Association of America on Research in Undergraduate Mathematics Education, San Diego, California, USA.
Stewart, S., & Thomas, M. O. J. 2008. Linear Algebra Thinking: Embodied, Symbolic and Formal Aspects of Linear Independence. Dipresentasikan pada the 11th Conference of the Special Interest Group of the Mathematical Association of America on Research in Undergraduate Mathematics Education, San Diego, California, USA.
Stewart, S.. 2008. Understanding Linear Algebra Concepts Through the Embodied, Symbolic and Formal Worlds of Mathematical Thinking. PhD. Thesis, Department of Mathematics, The University of Auckland. New Zealand: The University of Auckland.
Tall, D.O. 1996. Advanced Mathematical Thinking & The Computer. Proceedings of the 20th University Mathematics Teaching Conference, Shell Centre, Nottingham, Halaman: 1-8
Tall, D.O. 1997. From School to University: the Transition from Elementary to Advanced Mathematics Thinking. Dipresentasikan pada the Australasian Bridging Conference in Mathematics di Auckland University, New Zealand, 13 Juli 1997.
Tall, D. O. 2004. Thinking through Three Worlds of Mathematics. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education. Bergen, Norway. Vol 4 Hal: 281-288.
Tall, D. O. 2006. A Theory of Mathematical Growth through Embodiment, Symbolism and Proof. Annales de Didactique et de Sciences Cognitives, Irem de Strasbourg. 11, 195–215.
Tall, D.O. 2008a. The Transition to Formal Thinking in Mathematics. Mathematics Education Research Journal, Vol. 20 No. 2 Hal: 5-24.
Tall, D.O.. 2008b. The Historical & Individual Development of Mathematical Thinking: Ideas that are Set-Before and Met-Before. Plenary Presented at Colóquio de Histório e Tecnologia no Ensino Da Mathemática. UFRJ, Rio de Janeiro, Brazil, May 5th.
Tall, D. O., & Mejia-Ramos, J. P. 2006. The Long-Term Cognitive Development of Different Types of Reasoning and Proof. Dipresentasikan pada the Conference on Explanation and Proof in Mathematics: Philosophical and Educational Perspectives di Universität Duisburg-Essen, Essen, Germany.
Weber, K. 2004. Traditional Instruction in Advanced Mathematics Courses: A Case Study of One Professor’s Lectures and Proofs in an Introductory Real Analysis Course. Journal of Mathematical Behavior 23 Halaman 115–133.

Makalah untuk disampaikan pada SEMINAR NASIONAL LESSON STUDY III DI FMIPA UM TGL 9 OKTOBER 2010

Kamis, 24 Februari 2011

Sri Maryati, S830908143, “Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat dengan metode observasi laboratorium dan metode observasi lapangan ditinjau dari sikap ilmiah dan konsep diri siswa (Studi kasus di SMA Negeri 2 Yogyakarta kelas XII IA semester 2 tahun pelajaran 2008-2009 pada materi Bioteknologi).

Tujuan penelitan untuk mengetahui adanya pengaruh pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat terhadap prestasi belajar siswa: 1) dengan metode observasi laboratorium dan metode observasi lapangan, 2) sikap ilmiah siswa katagori tinggi dan sikap ilmiah siswa katagori rendah,3) konsep diri siswa positif dan konsep diri siswa negatif, 4) Interaksi sikap ilmiah dan konsep diri siswa, 5) Interaksi metode observasi laboratorium dan metode observasi lapangan dengan sikap ilmiah siswa,6) Interaksi metode observasi laboratorium dan metode observasi lapangan dengan konsep diri siswa,7) Interaksi metode observasi laboratorium dan metode observasi lapangan dengan sikap ilmiah dan konsep diri siswa.

Peneliti menggunakan metode eksperimen dengan desain faktorial 2×2x2, populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas XII SMA Negeri 2 Yogyakarta. Sampel diambil secara nonrandom sebanyak dua kelas. Kelompok kelas eksperimen dengan metode observasi laboratorium terdiri dari 40 siswa kelas XII IA 1 dan kelompok eksperimen dengan metode observasi lapangan terdiri dari 40 siswa kelas XII IA 5.

Dari hasil penelitian didapatkan : 1) Ada pengaruh metode observasi laboratorium dan metode observasi lapangan terhadap prestasi belajar siswa. P- value = 0,039. 2) Ada pengaruh sikap ilmiah siswa katagori tinggi dan sikap ilmiah siswa katagori rendah terhadap prestasi belajar siswa P-Value = 0,000 3) Ada pengaruh konsep diri siswa positif dan konsep diri siswa negatif terhadap prestasi belajar siswa P-value 0,021 4) Tidak ada Interaksi sikap ilmiah dan konsep diri siswa terhadap prestasi belajar siswa,P-value 0.358, 5) Tidak ada interaksi metode observasi laboratorium dan metode observasi lapangan dengan sikap ilmiah siswa terhadap prestasi belajar siswa P-value 0.273, 6) Tidak ada interaksi metode observasi laboratorium dan metode observasi lapangan dengan konsep diri siswa terhadap prestasi belajar siswa P-value 0.133, 7) Tidak ada interaksi metode observasi laboratorium dan metode observasi lapangan dengan sikap ilmiah dan konsep diri siswa terhadap prestasi belajar siswa konsep diri 0.981 Dari uji lanjut pasca anava ternyata baik metode, sikap ilmiah dan konsep diri terdapat pengaruh yang tidak signifikan antara metode ,sikap ilmiah dan konsep diri terhadap prestasi belajar siswa

This entry was posted on Senin, Januari 19th, 2009 at 12:01 pm and is filed under Publikasi Tesis/Disertasi Siap Uji .

Selasa, 22 Februari 2011

UNTUKMU PARA WANITA
(Sebuah Pengakuan Lelaki PACARAN HALAL.. Sebagai Proses Penjajakan, Percayalah Kepada Cowok)


Dikutip dari AutHor PeLaNgi "Khuzaiyah"

Written on January 18, 2009 – 12:25 am | by Heidif “PACARAN HALAL”
Sebagai Proses Penjajakan, Percayalah Kepada Cowok
(tidak mengandung ayat dari kitab agama manapun)

Berdasarkan dari betapa mudahnya wanita diperdaya oleh lelaki/cowok. Bahkan dengan sangat angkuhnya wanita sering berpendapat bahwa dirinya tidak akan mudah termakan rayuan gombal lelaki. Itu benar, karena dimasa sekarang ini tidak ada lelaki yang bibirnya bisa mengucapkan rayuan gombal seperti film-film Indonesia toempoe doeloe. Tetapi dengan pendidikan dan teknologi yang berkembang, metode saya berubah (red:cowok).
Saya bisa memanfaatkan semua SDM dan SDA yang ada di sekitar saya untuk menunjang tegaknya diagnosa “SERIUS” di hadapan target (wanita). Apakah property “nebeng”? Oh tidak! Bahkan hanya dengan kesederhanaan, malah jadi pamungkas yang cukup jitu untuk meluluhkan hati wanita incaran saya. Karena dengan kesederhanaan dan property seadanya, akan mendatangkan kesan ketulusan dan bersahaja. Yang kemudian menimbulkan cinta sepenuh hati, berakibat kepasrahan. Ini fokusnya, kepasrahan yang artinya diriku sepenuhnya kuserahkan padamu, termasuk my virgin (klo masih).

Wahai wanita, tidak semua di antara saya kaum lelaki mengincar hartamu, yang merupakan incaran saya sebenarnya adalah SEX, sejauh mana dirimu memberikan rasa penasaran kepada saya, selama itu pula saya sanggup bersandiwara dengan sekuat tenaga saya. Mengapa saya sebut sandiwara? Karena saya menyimpulkan bahwa yang telah beristeri saja masih banyak yang selingkuh (meski tidak semuanya). Pernikahan yang kejelasan statusnya dilindungi oleh hukum agama dan UU Negara, masih sering saya injak-injak. Apalagi status pacaran? Yang sama sekali tidak dikuatkan oleh peraturan manapun. Artinya seorang cowok bisa saja berpacaran dengan seribu cewek dalam waktu bersamaan atau sebaliknya. Maka jadilah pemuda-pemudi bangsa ini sebagai pakar zina, dari yang kecil sampai yang besar. Tapi masalah jadi bangsa apa bukan urusan saya, selagi saya masih bisa menikmati kenikmatan dunia lewat tubuh wanita secara free, maka paradigma “Pacaran sebagai proses penjajakan” akan selalu saya sebarkan dengan cara apapun.
Sex dengan pacar sendiri sangat berbeda rasanya dengan sex dengan pelacur manapun dengan harga pakai berapapun. Sebab wanita yang selalu jadi target saya tentunya bersih, sehat, bebas penyakit menular seks (PMS), terawat dan terdidik. Soal kaya atau miskin si target itu bisa disesuaikan.
Maksudnya apabila saya telah sukses memperdaya hati target, maka keadaan keuangan akan sangat mudah dikendalikan berdasarkan scenario “rasa pengertian” yang saya ciptakan di hati target. Pulsa yang saya keluarkan untuk menjalin kedekatan tidak sebanding dengan kenikmatan yang menanti saya. Target berjilbab? Bisa sukses bisa juga tidak. Usaha saya dalam berburu “kenikmatan” terhadap target berjilbab memerlukan beberapa trik tambahan. Tetap bersikap sederhana, apa adanya, bersahaja, pengakuan terhadap kekurangan diri, bersikap humoris dan sedikit bumbu religi yang didapat dari ceramah ustadz-ustadz di televisi bisa jadi referensi tambahan.
Usaha saya sukses terhadap target yang berjilbab yang juga masih berpakaian ketat, sehingga jilbab kadang-kadang hanya menutupi rambutnya dan tidak menutupi ukuran “hardware” indahnya. Kulit target yang halus mulus karena sering tertutup dari polusi udara dan matahari memberikan sensasi yang tidak sama dengan target tidak berjilbab pada umumnya. Luar biasa!!!
Usaha saya gagal apabila target berjilbab tapi juga berpakaian yang lebar, sehingga tidak tampak keindahannya lewat mata secara fisik, tapi saya sangat yakin dibalik pakaian yang lebar itu tersimpan lebih banyak keindahan. Saya kurang pasti penyebab kegagalan usaha saya terhadap target tersebut, bisa jadi keteguhan target dalam memegang keyakinan bahwa keindahan yang mereka miliki merupakan “harta berharga” yang hanya akan disuguhkan kepada suami mereka nantinya.

Kenyataan yang menggembirakan adalah target “kokoh” semacam ini berjumlah sangat sedikit jika dibandingkan dengan total target “empuk” yang banyak tersedia di sekitar saya.
Pada umumnya target menginginkan “keseriusan”. Ketidaktahuan mereka terhadap makna kata serius ini yang sering saya manfaatkan sebagai peluluh hati mereka. Trik yang saya gunakan bermacam-macam, mulai dari kirim sms yang bertuliskan “Aku serius lho sama kamu”, telepon diatas jam 23.00 (tarif murah) untuk bicara panjang lebar dengan topik yang dipilih secara random. Ini trik yang paling sederhana dan cukup jitu untuk target yang masih lugu atau pura-pura lugu soal keseriusan hubungan. Maksudnya walau target sudah mengerti tentang trik
yang saya jalankan dalam meraih target, tapi seiring waktu dan semangat saya yang tidak berputus asa dalam menjalankan skenario, cepat lambat target yang dulunya pura-pura lugu akan luluh akhirnya melihat semangat tulus palsu saya. Jika tujuan utama saya yaitu tubuh indah target belum didapatkan, maka bukti keseriusan palsu saya dapat dikuatkan dengan memboyong mereka ke orang tua saya atau sebaliknya, saya bersedia diboyong ke orang tua target. Sampai disini saja keberanian saya untuk bermain dengan kata serius, untungnya karena 99% target telah takluk pada level trik ini.
Kenyataan yang juga menggembirakan saya adalah apabila ternyata orang tua saya atau oramg tua target juga memiliki paradigma “Pacaran adalah proses penjajakan” atau “Pacaran adalah proses yang harus dilalui oleh remaja normal”. Luar biasa!!!
Target yang telah beranggapan bahwa “inilah jodohku”, dengan paradigma ini saya telah mendapatkan kepercayaan penuh dari segala pihak untuk memperlakukan target semau saya. Termasuk menikmati kenyamanan sensasi seks penuh gratisan yang saya tunggu-tunggu selama perjuangan. Tidak perlu buru-buru, karena saya sangat dan sangat memperhatikan situasi, kondisi dan domisili. Soal dikemudian hari saya bosan dengan target yang sudah habis manisnya karena saya hisap atau muncul target baru yang lebih segar, maka skenario pelepasan diri dapat dijalankan dengan berbagai alasan. Sangat mudah melakukannya mengingat semua manusia memiliki kekurangan, kekurangan inilah yang harus diangkat ke permukaan dan menjadi pokok bahasan yang berlanjut dengan putusnya hubungan. Alasan ketidakcocokan bisa menjadi penangkal pertanyaan orang tua masing-masing pihak. Putus. Juga merupakan jalan baru bagi saya untuk memulai skenario pengejaran target baru. Tampang berduka, bahkan tampang tegar paska putus pun bisa menjadi pesona di hadapan target baru ini. Tentunya saya tidak meninggalkan trik-trik peluluhan hati yang saya terapkan terhadap target-terget sebelumnya seperti sederhana, tampil apa adanya, bersahaja, sedikit ditambah bumbu humoris karena target pada umumnya ingin dekat dengan orang yang selalu bisa membuatnya tersenyum dalam setiap keadaan. Target selalu ingin merasakan aman, nyaman, disayang, diperhatikan (beberapa). Maka sedaya upaya saya akan ciptakan suasana tersebut hanya di dekat saya. Persepsi bahwa di dekat saya maka target merasa aman, nyaman, tenang, tersenyum, dan damai merupakan paradigma yang harus saya ciptakan di dalam kepala target. Untuk kesekian kalinya saya selalu sukses dalam pencapaian tujuan saya, menjadikan saya sangat berpengalaman dan cerdas dalam program ini, dengan atau tanpa hambatan sama sekali. Sungguh indah dunia ini, dipenuhi dengan target-target berpendidikan tapi bodoh yang menunggu giliran untuk saya habisi. “Ahh, saya kan gak pernah serius klo pacaran, ngapain takut!”

Jika terget berfikiran seperti kata-kata di atas, maka pemikiran seperti ini juga merupakan peluang besar bagi saya untuk memulai skenario peluluhan hati. Yang saya utamakan lebih dahulu adalah mengadakan ikatan super tidak jelas bernama Pacaran, soal cinta atau tidak, itu cuma masalah waktu. Trik-trik yang saya lancarkan akan mengubah keadaan hati target seiring waktu yang dilalui bersama-sama dan komitmen semu tentang pacaran yang saya atau orang lain ciptakan.
“Ahh, tidak semua cowok seperti itu, cowokku ga gitu and ga mungkin begitu!”.
Kata-kata sejenis ini merupakan tolak ukur keberhasilan skenario BHSP (Bina Hubungan Saling Percaya) yang nantinya menjadi peluang besar untuk mendapatkan tubuh target di kemudian hari. Karena salah satu yang saya ingin bentuk adalah pendapat target bahwa saya adalah cowok yang berbeda dengan cowok pada umumnya. Jika Anda wanita berpenampilan menarik atau tidak, bertubuh indah baik tertutup atau tidak, mencari keseriusan hubungan, mencari cinta dari sesama manusia tanpa pemahaman yang jelas…Maka Anda target saya berikutnya !

Wahai wanita, ketahuilah bahwa seorang laki-laki yang benar-benar serius terhadapmu akan datang kepada orang tuamu dengan berkata “Pak, saya ingin menikahi putri Bapak, sekarang saya punya penghasilan Rp…../bulan, dst”, sedangkan laki-laki yang benar-benar serius ingin menghabisimu akan datang langsung kepadamu dengan berkata “Maukah kamu jadi pacarku?”.
Puncak kehinaan wanita ketika ia menerima tembakan seorang lelaki untuk jadi kekasihnya.
Puncak kemuliaan wanita ketika orang tua/walinya mempertimbangkan lamaran seorang lelaki untuk jadi isterinya.
Hancurkan harga diri dengan pacaran, muliakan diri dengan …
Tidak ada solusi termuat dalam tulisan ini, meskipun solusinya tertulis tetapi tidak akan menghentikan kegiatan saya, saya hanya bisa berhenti jika semua target mengaplikasikan solusi yang sebenarnya sudah mereka tahu. Pacaran sebagai proses penjajakan, penjajakan = peng”injak-injakan” atau pen”jaja”an.
Jika Anda belum pacaran, Nantikan kehadiran saya di sisi Anda!
Jika Anda telah putusan, Nantikan juga kehadiran saya di sisi Anda!
Jika Anda masih pacaran, maka tunggu tanggal “main” saya bersama Anda!

Wallahua’lam bisshawab